Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

 Tulis Artikel dan dapatkan Bayaran Tiap Kunjungan Rp 10-25 / kunjungan. JOIN SEKARANG || INFO LEBIH LANJUT

Pemahaman Makna Bhinneka Tunggal Ika

Tinjauan tentang Pemahaman Makna Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia. Semboyan ini tertulis di dalam lambang negara Indonesia, Burung Garuda Pancasila. Pada kaki Burung Garuda itulah terpampang dengan jelas tulisan Bhinneka Tunggal Ika. Secara konstitusional, hal tersebut telah diatur dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” memuat dua konsep yang berbeda, bahkan kedua konsep tersebut seolah-olah bersifat kontradiktif. Kedua konsep itu adalah “Bhinneka” dan “Tunggal Ika”. Konsep “Bhinneka” mengakui adanya keanekaan atau keragaman, sedangkan konsep “Tunggal Ika” menginginkan adanya kesatuan. Keanekaan dicirikan oleh adanya perbedaan, sedangkan kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan. Jika kedua hal tersebut dipahami dan dilaksanakan dengan tekanan yang berbeda (tidak seimbang), maka akan dapat menimbulkan kondisi yang berbeda pula. Manakala segi keanekaan yang menonjolkan unsur perbedaan itu ditampilkan secara berlebihan, maka kemungkinan munculnya konflik tak terhindarkan. Sebaliknya, manakala segi kesatuan yang menonjolkan kesamaan itu ditampilkan secara berlebihan, maka tindakan itu tergolong melanggar kodrat perbedaan, karena perbedaan adalah kodrat sekaligus berkah yang tak terelakkan. Adanya dua konsep yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” mengandung problem metafisika, yaitu problema antara kepelbagaian dan kesatuan, pro-blem antara hal banyak (the many) dan hal satu (the one). Berdasarkan problema tersebut tampak bahwa untuk mencari makna “Bhinneka Tunggal Ika” diperlukan adanya perenungan mendalam yang bersifat filosofis metafisis.

Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” dipetik dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Istilah tersebut tercantum dalam bait 5 pupuh 139. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu.
Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Kitab Sutasoma mengajarkan toleransi kehi-dupan beragama, yang menempatkan agama Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama itu hidup beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk. Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan Buddha ber-muara pada hal “Satu”. Hindu dan Buddha memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.

Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang semula menunjukkan semangat toleransi keagamaan, ke-mudian diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia. Sebagai semboyan bangsa konteks permasalahannya bukan hanya menyangkut toleransi beragama tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan istilah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Semboyan itu dilukiskan di bawah lam-bang negara Indonesia yang dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.

Jika dianalisis, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu terdiri dari kata “Bhinneka”, “Tunggal”, dan “Ika”. Kata “Bhinneka” berasal dari kata “Bhinna” dan “Ika”. “Bhinna” artinya berbeda-beda dan “Ika” artinya itu. Jadi, kata “Bhinneka” berarti “yang berbeda-beda itu”. Analisa lain menunjukkan bahwa kata “bhinneka” terdiri dari unsur kata “bhinn-a-eka”. Unsur “a” artinya tidak, dan “eka” artinya satu. Jadi, kata “bhinneka” juga dapat berarti “yang tidak satu”. Sedangkan kata “Tunggal” artinya satu, dan “Ika” artinya itu. Berdasarkan analisa tersebut dapatdisimpulkan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berarti “yang berbeda-beda itu dalam yang satu itu” atau “beranekaragam namun satu jua”. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hampir sama artinya dengan semboyan negara Amerika Serikat, E Pluribus Unum yang artinya bersatu walaupun berbeda-beda, berjenis-jenis tetapi tunggal.

Kebhinnekaan atau yang berbeda-beda itu menunjuk pada realitas objektif masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat dite-mukan dalam berbagai bidang kehidupan. Keaneka-ragaman di bidang politik diwarnai oleh adanya kepentingan yang berbeda-beda antara individu atau kelompok yang satu dengan individu atau kelompok yang lainnya. Di bidang ekonomi, keanekaragaman dapat dilihat dari adanya perbedaan kebutuhan hidup, yang akhirnya berimplikasi terhadap mun-culnya keanekaragaman pada pola produksi. Di bidang sosial, keberagaman itu tercermin dari adanya perbedaan peran dan status sosial. Selain itu, ke-anekaragaman juga dapat dilihat dari segi geografis, budaya, agama, etnis, dan sebagainya. Keaneka-ragaman itu pun masih dikukuhkan lagi oleh kebhinnekaan perseorangan masing-masing anak negeri yang kini berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan adanya keanekaragaman dalam berbagai bidang tersebut menyebabkan Indonesia dijuluki sebagai masyarakat yang multi etnik, multi agama (multi religi), multi budaya (multikultural), dan sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (Plural Society).

Jika dilihat dari struktur sosialnya, keaneka-ragaman atau kemajemukan masyarakat Indonesia berdimensi ganda, karena memiliki kemajemukan secara horizontal dan vertikal. Kemajemukan secara horizontal dalam sosiologi dikenal dengan istilah deferensiasi sosial. Diferensiasi sosial merupakan suatu sistem kelas sosial dengan sistem linear atau tanpa membeda-bedakan tinggi-rendahnya kelas sosial itu sendiri. Misalnya, perbedaan agama, ras, etnis, clan (klan), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin. Kemajemukan secara vertikal melahirkan stratifikasi sosial. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosialdapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya, seperti lapisan kaya dan miskin, penguasa dan jelata.

Makna kesatuan (tunggal ika) dalam BhinnekaTunggal Ika merupakan cerminan rasionalitas yang lebih menekankan kesamaan daripada perbedaan. Kesatuan merupakan sebuah gambaran ideal. Di-katakan ideal karena kesatuan merupakan suatu harapan atau cita-cita untuk mengangkat atau menempatkan unsur perbedaan yang terkandung dalam keanekaragaman bangsa Indonesia ke dalam suatu wadah, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan adalah upaya untuk menciptakan wadah yang mampu menyatukan kepelbagaian atau keanekaragaman.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang menga-kui realitas bangsa yang majemuk, namun tetap menjunjung tinggi kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara kebhinnekaan dan ketunggalikaan, antara keaneka-an dan keekaan, antara keragaman dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara pluralisme dan monisme.

Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri kesatuan (Rizal Mustansyir, 2009 : 52). Keseimbangan itu sendiri merupakan konsep filsafati yang selalu terletak pada ketegangan di antara dua titik ekstrim, yaitu keanekaan mutlak di satu pihak dan kesatuan mutlak di pihak lain. Setiap kali segi keanekaan yang menonjolkan perbedaan itu memuncak akan membawa kemungkinan munculnya konflik, maka kesatuanlah yang akan meredakan atas dasar kesadaran nasional. Demikian pula sebaliknya, mana-kala segi kesatuan yang menonjolkan kesamaan itu tampil secara berlebihan, maka keanekaan selalu mengingatkan bahwa perbedaan adalah kodrat se-kaligus berkah yang tak terelakkan.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan yang mengakui realitas bangsa Indo-nesia yang majemuk (berbhinneka), namun selalu mencita-citakan terwujudnya kesatuan (ketunggal-ikaan). Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika berarti Indonesia selain mengakui adanya kepelba-gaian juga mengakui adanya kesatuan.

Dalam kehidupan bersama kebhinnekaan bisa menjadi berkah atau sebaliknya sumber bencana tergantung cara kita memandang dan mengelola-nya. Tirta N Mursita dalam Taneko B. Soleman (2010 : 32) mengatakan bahwakeberagaman itu given (berkah), tak bisa dihindari di dunia ini. Siapa yang bisa mengelak kalau ada kulit hitam, putih, kuning, dan cokelat di dunia ini. Siapa pula yang menafikan, kalau ada ratusan, ribuan bahkan jutaan pemikiran baru di alam ini. Semua saling bertumpuk-tumpuk, memberikan tesis dan antitesis baru. Kebhinnekaan merupakan ciri dasar bangsa Indonesia sejak Republik ini dibentuk, kemudian diproklamasikan oleh para founding fathers pada paruh kedua abad silam hingga kini. Sebagai suatu realitas objektif, maka kebhinnekaan telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Karena itu, upaya-upaya untuk meniadakan keberagaman atau upaya penyeragaman merupakan tindakan yang menentang kenyataan. Kalau keberagaman itu tidak boleh ada di Indonesia, berarti identitas bangsa tidak ada lagi.

Untuk menjaga keberlangsungan hidup berbangsa, kebhinnekaan sebaiknya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi kebhinnekaan harus dipandang se-bagai aset yang diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Kebhin-nekaan sebagai kekayaan serta mendaya-gunakannya justeru dapat menjadi pondasi kokoh persatuan dari sebuah imagined community yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran sebagai masyarakat yang berbhinneka tetapi mencita-citakankesatuan yang dikukuhkan sebagai konsensus ber-sama dalam Soempah Pemuda 1928 telah menjadi modal sosial ampuh yang berhasil mempersatukan dan mengantar negara-bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit dari dulu sampai sekarang, bahkan juga nanti.

Kadang-kadang kita kurang menyadari bahwa kehidupan ini juga merupakan sinergi dari kekuat-an yang berbeda. Bahkan perbedaan itu sering di-tempatkan pada posisi yang berlawanan dan kontradiktif, seperti atas dan bawah, kiri dan kanan, positif dan negatif, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Dalam rancangan integrasi, perbedaan itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan, melainkan sebagai sesuatu yang berpa-sangan. Yang satu mengandaikan adanya yang lain. Ada “atas” karena ada “bawab”, ada “kiri” karena ada “kanan”, demikian seterusnya, sehingga kita juga bisa mengatakan bahwa kesatuan mengasum-sikan adanya keanekaragaman. Diri kita ada merupakan hasil sinergi dari dua kekuatan yang berbeda, yaitu kekuatan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa diri ini ada sebagai produk perbedaan.

Dalam dunia pendidikan juga penuh dengan warna-warni perbedaan. Ada guru ada murid yang masing-masing memiliki kedudukan dan fungsi yang berbeda. Guru mengajar dan murid belajar. Selain itu, dalam pendidikan juga ada berbagai sarana dan prasarana. Semua unsur pendidikan yang berbeda-beda itu bersinergi sehingga terjadi proses pendidikan berupa proses belajar mengajar (PBM).

Hardono Hadi (2004: 73) juga mengatakan, “Kalau kita melihat suatu karya seni, kita akan melihat bahwa keindahannya tidak pernah didasarkan kepada keseragaman”. Keindahan justru tercipta bila terdapat perbedaan-perbedaan antara bagian-bagiannya yang dipersatukan dalam satu yang Masyarakat yang berbhinneka yang dicirikan oleh adanya perbedaan memang sangat rawan ter-hadap konflik. Indonesia sebagai masyarakat berbhinneka, secara internal telah mengandung sumber-sumber ketegangan dan pertentangan. Menurut Eka Dharmaputera (2007 : 40), baik keanekaragaman maupun kesatuan Indonesia adalah kenyataan se-kaligus persoalan. Kebhinnekaan Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih menonjol daripada kesatu-annya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan ancaman baik riil maupun potensial. Jika bertumpu pada realitas bangsa yang berbhin-neka, bahaya disintegrasi memang merupakan ancaman yang amat nyata. Namun karena Indonesia tidak hanya berbhinneka, tetapi juga tunggal ika, maka integrasi bukanlah sesuatu yang mustahil. Setiap pembahasan tentang Indonesia yang mengabaikan kedua atau salah satu dimensi tersebut, dapatlah dipastikan tidak akan mencapai sasaran.

Selanjutnya Eka Darmaputera (2007 : 8-9) juga mengatakan, agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik, masyarakat harus mampu mengatasi disintegrasi potensial yang ada di dalam dirinya sendiri. Seluruh masyarakat dapat berfungsi hanya apabila anggota-anggotanya bersedia untuk mengintegrasi-kan diri, baik dalam bentuk integrasi normatif mau-pun integrasi nilai. Integrasi normatif tercermin dari adanya kehidupan bersama di mana seluruh anggota masyarakat bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang telah ditentukan. Sedangkan inte-grasi nilai tercermin dari adanya nilai-nilai funda-mental yang dijadikan sebagai pandangan hidup bersama.

Perbedaan dalam kebhinekaan merupakan suatu realitas, karena itu perbedaan tidak perlu lagi untuk dibeda-bedakan. Membeda-bedakan perbedaan justeru akan dapat menimbulkan bahaya disintegrasi. Per-bedaan dalam kebhinnekaan perlu disinergikan atau dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun kebersamaan. Karena kesatuan dicirikan oleh ada-nya kesamaan, maka untuk mewujudkan cita-cita kesatuan di tengah-tengah kebhinnekaan diperlukan adanya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda itu. Secara individu, setiap manusia adalah berbeda, baik dilihat dari segi fisiknya maupun mentalnya. Setiap manusia merupakan subjek yang otonom. Namun demikian, setiap manusia memiliki kesa-maan, yaitu sama-sama manusia (sesama manusia). Demikian juga dalam konteks ke-Indonesiaan, ter-dapat beragam suku, agama, ras, dan golongan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tetapi semuanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bangsa Indonesia (sesama bangsa Indo-nesia). Konsep “sesama” tidak hanya terbatas pada manusia. Manusia dengan binatang juga memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mahluk hidup (sesama mahluk hidup). Demikian juga kesamaan bisa di-temukan dalam hubungannya dengan yang lain, sehingga muncul adanya berbagai konsep sesama, seperi sesama ciptaan Tuhan, atau sesama isi dunia, dan lain sebagainya. Inilah konsep “sesama” dalam arti luas (Pursika, 2009 : 28). kesatuan tema. Keragaman dari bagian-bagian mem-perkaya nilai keseluruhan dan juga saling mengangkatnilai yang dimiliki oleh setiap bagian.

Posting Komentar untuk "Pemahaman Makna Bhinneka Tunggal Ika"