Zhang Xin : Dari Buruh Pabrik Menjadi Miliarder
Zhang Xin lahir pada tanggal 24 Agustus 1965, di Beijing, Cina. Zhang Yin menamatkan pendidikan sarjananya dalam bidang Ekonomi di Universitas Sussex. Kemudian, Zhang Xin mendapat gelar master dalam bidang Ekonomi Pembangunan pada tahun 1992 dari Universitas Cambridge, pada usia 27 tahun.
Zhang Yin bisa melanjutkan pendidikannya di Universitas Sussex, setelah 5 tahun sebelumnya ia menabung dari hasil bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Dengan tabungannya itu, pada usia 20 tahun ia pergi ke London. Beberapa saat sebelum kuliah, ia belajar bahasa Inggris di sebuah sekolah sekretaris. Tak hanya itu, ia juga sempat bekerja di sebuah restoran makanan laut di London.
Bersama dengan ibunya, ia pindah ke Hong Kong pada usia 14 tahun. Orang tua Zhang Xin merupakan Suku Burma Cina. Mereka pindah dari Burma ke Cina pada tahun 1950-an. Sebelumnya, orangtua Zhang Xin menekuni usaha sebagai produsen garmen. Setelah pindah ke Cina, ibunya memutuskan untuk menjalani profesi baru, yaitu menjadi penerjemah di Bureau of Foreign Languages. Melalui lembaga itu, ibunya turut membantu menyebarluaskan pernyataan Deng Xiaoping dan Zhou Enlai. Akan tetapi, orangtua Zhang Xin berpisah pada saat terjadinya perang Revolusi Budaya di Cina pada tahun 1966.
Masa kecil dan remaja Zhang Yin cukup memprihatinkan. Ia dibesarkan di tengah keluarga miskin. Sebenarnya, orangtua Zhang Yin adalah orang berpendidikan, akan tetapi pemerintah pada waktu itu tidak memercayai sehingga ia dikirim ke pinggiran kota. Zhang Xin melewati masa kecilnya di sebuah rumah susun di pinggiran Beijing.
Dalam kesehariannya, Xhang Yin hanya menemukan makanan berupa nasi ransum yang ditaruh di mangkuk besi. Zhang Yin juga ikut mengantri makanan dengan anak-anak pekerja keras lainnya. Zhang Yin mengatakan bahwa hanya ada tiga jenis makanan yang semuanya cukup buruk. Ia dan anak-anak lainnya memegang mangkuk nasi, dibawa ke kantin dan menunggu petugas membagikan makanan. Keadaannya jauh lebih buruk dari para pekerja kontruksi yang mengantre makanan.
Ketika pindah ke Hong Kong, Zhang Yin dan ibunya juga cukup melarat. Mereka berdua tinggal di kamar yang hanya cukup untuk 2 kasur. Ia kemudian memutuskan bekerja di pabrik garmen dan produk elektronik selama 5 tahun. Zhang Yin bekeija selama 12 jam setiap harinya. Ia menabung gajinya untuk mewujudkan niatnya kuliah di luar negeri.
Sebelum mendirikan usahanya sendiri, Zhang Yin sempat bekerja di Baring Plc. Baring menempatkannya di Hong Kong, tetapi kemudian ia pindah ke sebuah bank investasi, Goldman Sachs di New York City. Setelah itu, ia juga pernah bekerja di Traveler Group pada tahun 1994. Tak lama berselang, ia memutuskan kembali ke kampung asalnya, Beijing, untuk memulai pekerjaan baru. Hal ini, seiring dengan adanya reformasi ekonomi.
Pada tahun 1995, bersama Pan Shiyi ia mendirikan Hongshi. Awalnya, Pan Shiyi adalah rekanan perjuangannya yang juga pernah merasakan kehidupan yang melarat. Pan Shiyi inilah orang yang menyarankan agar dia menekuni bidang properti, karena menurutnya, masa depan dunia properti akan baik. Zhang Xin dan Pan Shiyi, yang memiliki karakter yang sama ini akhirnya menikah tidak lama setelah mereka mendirikan perusahaan tersebut.
Zhang Yin bisa melanjutkan pendidikannya di Universitas Sussex, setelah 5 tahun sebelumnya ia menabung dari hasil bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Dengan tabungannya itu, pada usia 20 tahun ia pergi ke London. Beberapa saat sebelum kuliah, ia belajar bahasa Inggris di sebuah sekolah sekretaris. Tak hanya itu, ia juga sempat bekerja di sebuah restoran makanan laut di London.
Bersama dengan ibunya, ia pindah ke Hong Kong pada usia 14 tahun. Orang tua Zhang Xin merupakan Suku Burma Cina. Mereka pindah dari Burma ke Cina pada tahun 1950-an. Sebelumnya, orangtua Zhang Xin menekuni usaha sebagai produsen garmen. Setelah pindah ke Cina, ibunya memutuskan untuk menjalani profesi baru, yaitu menjadi penerjemah di Bureau of Foreign Languages. Melalui lembaga itu, ibunya turut membantu menyebarluaskan pernyataan Deng Xiaoping dan Zhou Enlai. Akan tetapi, orangtua Zhang Xin berpisah pada saat terjadinya perang Revolusi Budaya di Cina pada tahun 1966.
Masa kecil dan remaja Zhang Yin cukup memprihatinkan. Ia dibesarkan di tengah keluarga miskin. Sebenarnya, orangtua Zhang Yin adalah orang berpendidikan, akan tetapi pemerintah pada waktu itu tidak memercayai sehingga ia dikirim ke pinggiran kota. Zhang Xin melewati masa kecilnya di sebuah rumah susun di pinggiran Beijing.
Dalam kesehariannya, Xhang Yin hanya menemukan makanan berupa nasi ransum yang ditaruh di mangkuk besi. Zhang Yin juga ikut mengantri makanan dengan anak-anak pekerja keras lainnya. Zhang Yin mengatakan bahwa hanya ada tiga jenis makanan yang semuanya cukup buruk. Ia dan anak-anak lainnya memegang mangkuk nasi, dibawa ke kantin dan menunggu petugas membagikan makanan. Keadaannya jauh lebih buruk dari para pekerja kontruksi yang mengantre makanan.
Ketika pindah ke Hong Kong, Zhang Yin dan ibunya juga cukup melarat. Mereka berdua tinggal di kamar yang hanya cukup untuk 2 kasur. Ia kemudian memutuskan bekerja di pabrik garmen dan produk elektronik selama 5 tahun. Zhang Yin bekeija selama 12 jam setiap harinya. Ia menabung gajinya untuk mewujudkan niatnya kuliah di luar negeri.
Sebelum mendirikan usahanya sendiri, Zhang Yin sempat bekerja di Baring Plc. Baring menempatkannya di Hong Kong, tetapi kemudian ia pindah ke sebuah bank investasi, Goldman Sachs di New York City. Setelah itu, ia juga pernah bekerja di Traveler Group pada tahun 1994. Tak lama berselang, ia memutuskan kembali ke kampung asalnya, Beijing, untuk memulai pekerjaan baru. Hal ini, seiring dengan adanya reformasi ekonomi.
Pada tahun 1995, bersama Pan Shiyi ia mendirikan Hongshi. Awalnya, Pan Shiyi adalah rekanan perjuangannya yang juga pernah merasakan kehidupan yang melarat. Pan Shiyi inilah orang yang menyarankan agar dia menekuni bidang properti, karena menurutnya, masa depan dunia properti akan baik. Zhang Xin dan Pan Shiyi, yang memiliki karakter yang sama ini akhirnya menikah tidak lama setelah mereka mendirikan perusahaan tersebut.
Hongshi artinya adalah batu merah. Nama ini menurutnya cocok untuk bidang yang ia geluti. Hongshi inilah yang menjadi cikal bakal perusahaan real estate terkenal dari Cina, yaitu SOHO (Small Office Home Office).
Pan Shiyi dan Zhang Xin kemudian menjelma menjadi pengembang properti terbesar di Cina. Tak heran mereka disebut sebagai pasangan pengusaha properti yang paling terkenal di Cina menurut Times of London.
Atas kerja kerasnya, Zhang Yin meraih banyak penghargaan, di antaranya sebuah pemghargaan International atas kontribusinya merintis arsitektur di Cina dan atas keinovatifannya. Selain itu, pada tahun 2004, ia juga memenangkan Businees Week’s Star of Asia, Special Prize atas proyek Commune by the Great Wall di La Biennale di Venezia ke 8, Montblanc Arts Patronage (2004), Ten Women to Wacth in Asia oleh Wall Street Journal (2007) dan Top Ten Billionaire Women We Admire Forbes (2009).
Tak hanya itu, Zhang Xin juga meraih World’s Most Powerful Women oleh Forbes Magize pada tahun 2008 dan 2011, Top 50 Women in World Business oleh Finansial Times, Cina Top 10 Career Women Role Models in 2009 oleh All China Women’s Federation, Cina Sun Media Group, Sina.com dan Hunan TV. The International Power 50 of The Most Powerful Women oleh Fortune Magazine (2011), Blue Cloud Award oleh Cina Institute (2010) dan The Self Made Women Billionaires of 2013.
Hanya berselang beberapa waktu, kekayaan Zhang Xin mencapai $3, 8 miliar, lebih dari Rp 40 Triliun pada Oktober 2013. Hal ini, membuat Zhang Xin terkenal sebagai salah satu wanita terkaya di dunia. Zhang Xin dikabarkan memiliki aset senilai $10 miliar dengan total 56 juta kaki persegi pembangunan.
Selain itu, juga dilansir bahwa ia telah melakukan pengembangan lahan besar di Beijing dan Shanghai, yaitu 18 di Beijing dan 11 di Shanghai. Semua yang didapat oleh Zhang Xin bukanlah harta warisan seperti sebagian orang terkaya di dunia. Zhang Xin memperoleh dengan hasil kerja kerasnya dan memulai dari nol.
Keberhasilan yang diperolehnya juga bukan tanpa tantangan. Setelah belasan tahun berdiri, SOHO sempat mengalami kebangkrutan. Tidak hanya bangkrut, pada tahun 2007, perusahaan Zhang Xin juga menanggung utang sebesar $1,65 miliar. Zhang Xin tidak hanya bangkit dari keterpurukan eknomi yang ia rasakan waktu kecil, tetapi juga bangkit dari kegagalan.
Dalam keadaan yang sulit, ia memutuskan untuk tetap mempertahankan dan melanjutkan perusahaan yang telah ia dirikan. “Aku bahkan ingat saat kami beijuang membayar gaji dan tagihan. Perusahaan haras terus bergerak walaupun dengan utang. Dengan kontrol biaya yang ketat, kami pun bisa mendapat keuntungan bertahap”, begitu kata Zhang Xin dalam sebuah kesempatan.
Namun, menjadi salah satu wanita terkaya di dunia tidak membuatnya hidup serba mewah. Zhang Xin memutuskan untuk menjalani kehidupan yang sederhana. Hal ini, dapat dilihat dari kesehariannya. Zhang Xin selalu menggunakan pakaian yang sederhana, tidak berlebihan.
Ia tampil apa adanya dengan make up dan perhiasan sederhana yang jauh dari kesan glamour. Ia juga menggunakan kendaraan pribadi yang biasa untuk ukuran orang sukses seperti dirinya. Ia juga tidak segan-segan naik pesawat kelas biasa dan menolak kelas satu. Zhang Xin benar-benar bersikap hemat. “Ini bukan soal kesanggupan, ini tentang kesadaran”, kata Zhang Xin.
Gaya hidup Zhang Xin yang sederhana di tengah peningkatan jumlah hartanya, membuat dirinya menjadi sorotan masyarakat. Tidak hanya karena ia seorang miliarder yang sebelumnya pernah menjadi seorang buruh pabrik, melainkan karena prinsip hidupnya yang begitu kuat. Selain menjabat sebagai CEO SOHO Cina, Zhang Xin juga menjadi ketua dewan direktur Teach For Cina, anggota Young Global Leader di World Economic Forum Davos, anggota Asia Business Council, anggota dewan Council on Foreign Relation dan penasihat untuk Cina Institute in America (2005-2010).
Pan Shiyi dan Zhang Xin kemudian menjelma menjadi pengembang properti terbesar di Cina. Tak heran mereka disebut sebagai pasangan pengusaha properti yang paling terkenal di Cina menurut Times of London.
Atas kerja kerasnya, Zhang Yin meraih banyak penghargaan, di antaranya sebuah pemghargaan International atas kontribusinya merintis arsitektur di Cina dan atas keinovatifannya. Selain itu, pada tahun 2004, ia juga memenangkan Businees Week’s Star of Asia, Special Prize atas proyek Commune by the Great Wall di La Biennale di Venezia ke 8, Montblanc Arts Patronage (2004), Ten Women to Wacth in Asia oleh Wall Street Journal (2007) dan Top Ten Billionaire Women We Admire Forbes (2009).
Tak hanya itu, Zhang Xin juga meraih World’s Most Powerful Women oleh Forbes Magize pada tahun 2008 dan 2011, Top 50 Women in World Business oleh Finansial Times, Cina Top 10 Career Women Role Models in 2009 oleh All China Women’s Federation, Cina Sun Media Group, Sina.com dan Hunan TV. The International Power 50 of The Most Powerful Women oleh Fortune Magazine (2011), Blue Cloud Award oleh Cina Institute (2010) dan The Self Made Women Billionaires of 2013.
Hanya berselang beberapa waktu, kekayaan Zhang Xin mencapai $3, 8 miliar, lebih dari Rp 40 Triliun pada Oktober 2013. Hal ini, membuat Zhang Xin terkenal sebagai salah satu wanita terkaya di dunia. Zhang Xin dikabarkan memiliki aset senilai $10 miliar dengan total 56 juta kaki persegi pembangunan.
Selain itu, juga dilansir bahwa ia telah melakukan pengembangan lahan besar di Beijing dan Shanghai, yaitu 18 di Beijing dan 11 di Shanghai. Semua yang didapat oleh Zhang Xin bukanlah harta warisan seperti sebagian orang terkaya di dunia. Zhang Xin memperoleh dengan hasil kerja kerasnya dan memulai dari nol.
Keberhasilan yang diperolehnya juga bukan tanpa tantangan. Setelah belasan tahun berdiri, SOHO sempat mengalami kebangkrutan. Tidak hanya bangkrut, pada tahun 2007, perusahaan Zhang Xin juga menanggung utang sebesar $1,65 miliar. Zhang Xin tidak hanya bangkit dari keterpurukan eknomi yang ia rasakan waktu kecil, tetapi juga bangkit dari kegagalan.
Dalam keadaan yang sulit, ia memutuskan untuk tetap mempertahankan dan melanjutkan perusahaan yang telah ia dirikan. “Aku bahkan ingat saat kami beijuang membayar gaji dan tagihan. Perusahaan haras terus bergerak walaupun dengan utang. Dengan kontrol biaya yang ketat, kami pun bisa mendapat keuntungan bertahap”, begitu kata Zhang Xin dalam sebuah kesempatan.
Namun, menjadi salah satu wanita terkaya di dunia tidak membuatnya hidup serba mewah. Zhang Xin memutuskan untuk menjalani kehidupan yang sederhana. Hal ini, dapat dilihat dari kesehariannya. Zhang Xin selalu menggunakan pakaian yang sederhana, tidak berlebihan.
Ia tampil apa adanya dengan make up dan perhiasan sederhana yang jauh dari kesan glamour. Ia juga menggunakan kendaraan pribadi yang biasa untuk ukuran orang sukses seperti dirinya. Ia juga tidak segan-segan naik pesawat kelas biasa dan menolak kelas satu. Zhang Xin benar-benar bersikap hemat. “Ini bukan soal kesanggupan, ini tentang kesadaran”, kata Zhang Xin.
Gaya hidup Zhang Xin yang sederhana di tengah peningkatan jumlah hartanya, membuat dirinya menjadi sorotan masyarakat. Tidak hanya karena ia seorang miliarder yang sebelumnya pernah menjadi seorang buruh pabrik, melainkan karena prinsip hidupnya yang begitu kuat. Selain menjabat sebagai CEO SOHO Cina, Zhang Xin juga menjadi ketua dewan direktur Teach For Cina, anggota Young Global Leader di World Economic Forum Davos, anggota Asia Business Council, anggota dewan Council on Foreign Relation dan penasihat untuk Cina Institute in America (2005-2010).
Posting Komentar untuk "Zhang Xin : Dari Buruh Pabrik Menjadi Miliarder"